Cari Blog Ini

Rabu, 22 Juni 2011

Kemiskinan Ruhaniah

Agustus 3, 2008 oleh MIIQ DM

Dalam salah satu magnum opusnya, “The Art of Loving”, Eric Fromn menjelaskan tentang dua buah keadaan jiwa manusia, being dan becoming. Terjemahan secara tepat kedua istilah ini ke dalam peristilahan Indonesia secara akurat amat sulit.

Modus being merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah merasa menjadi sesuatu. Misalnya, saya telah menjadi suami dari Nur, saya telah menjadi pemilik mobil BMW, saya telah menjadi orang shalih, saya telah menjadi orang dengan status sosial cukup, dan lain-lain. Dengan pengertian lain yang telah primodrial, modus being merupakana suatu keadaan dimana seseorang telah merasa memiliki sesuatu. Misalnya, saya telah memiliki Nur sebagai istriku, saya telah memiliki mobil BMW, saya telah menjadi orang shalih, saya telah memiliki kedudukan sosial yang cukup, dan lain-lain.

Modus being and becoming dapat diartikan secara ringkas sebagai memiliki dan menjadi.

Jika seseorang berada dalam modus being, maka terhadap sesuatu yang telah merasa dimilikinya akan timbul suatu perasaan hambar dan bosan. Sedang jika ia berada dalam modus becoming, maka terhadap suatu yang belum dimilikinya dan ingin memilikinya, akan timbul suatu gairah yang berbanding lurus dengan kuatnya keinginannya untuk memiliki hal itu. Sebagai contoh, betapa besar dan indahnya perasaan seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita. Manakala wanita itu masih belum benar-benar menjadi istrinya, gairahnya menyala-yala, sikapnya demikian lembut dan penuh kasih sayang. Segalanya menjadi indah di mata laki-laki. Bahkan semua cacat-cacat kecilnya pun bisa tampak dengan hiasan. Ini merupakan modus becoming dari proses hubungan antara laki-laki dan wanita. Namun begitu wanita tersebut menjadi istrinya, dan laki-laki itu merasa memiliki istrinya secara penuh, sering terjadi bahwa lambat laun sikap maupun gairahnya terhadap istrinya turun, dan seperti yang kita lihat begitu banyak pasangan seolah-olah pada modus becoming-nya amat ideal dan serasi, ternyata sering kandas pada modus being-nya.

Modus becoming adalah memberikan dinamika dan kemajuan terus tiada henti. Hal ini karena subyek pelaku modus ini selalu merasa kurang, merasa miskin terhadap apa yang hendak dicapainya. Dalam artian positifnya, ini akan menghasilkan suatu ihtiar tiada henti yang menghasilkan begitu banyak intuisi, kreatifitas dan berbagai kemampuan lain. Dalam istilah keagamaan, dihadapan kesempurnaan Yang Maha Agung, manusia harus merasa dirinya mahamiskin, mahafakir, tiada memiliki kekuatan dan kemampuan apapun yang perlu dibanggakan. Ini adalah pengejawantahan sifat rendah-hati sejati.

Modus being adalah kemujudan, kemandegan atau stagnasi. Hal ini karena pelaku modus ini sudah merasa memiliki sesuatu, merasa punya, merasa mempunyai kualitas-kualitas unggul tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Ini akan menghasilkan suatu keadaan mandeg tanpa ihtiar untuk memperbaiki diri, dan merupakan gunung hambatan yang amat dahsyat yang menghalangi perkembangan seluruh potensi kemanusiaan kita. Dalam istilah keagamaan, ini mencerminkan suatu sifat sombong dan takabur, yang merupakan sifat-sifat yang dimurkai Yang Maha Agung.

Karena itu pula dikatakan bahwa, “Kemiskinan ruhaniah (al-faqr) merupakan awal dari kearifan.” Jika seseorang merasa miskin amal, miskin ‘ilmu, miskin secara ruhaniah, dipenuhi dengan dosa dan keburukan, pastilah ini akan merendah serendah-rendahnya dihadapan Allah Yang Maha Agung. Ini seperti yang dirintihkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam doa Kumayl Ibnu Ziyad;

Wa ana’abdukadh-dho’ifudz-dzaliilul-haqiirul-miskiinul mustakiin.
Padahal aku hamba-Mu yang lemah, rendah, hina, malang dan papa.

Semakin seorang hamba mengenal Allah, semakin sadar ia akan kerendahan dirinya dan Keagungan Allah, semakin cepat pula Allah menariknya mendekati diri-Nya. Semakin dekat hamba tersebut pada Allah semakin ia merasa miskin, miskin sekali, tak punya satu kualitas kebaikan apa-pun, sehingga pada puncaknya sang hamba akan lenyap dalam keagungan Tuha. Seperti yang dikatakan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam doa Ash-Shobah.

Yaa man tawahhada bil ‘izzi wal baqaa
Waqoharo ‘ibaadahu bil mauti wal fanaa

Wahai yang Tunggal dalam Keagungan dan Baqa (kekekalan)
Dan menaklukkan hambanya dengan kematian dan Fana (kelenyapan)

Washolallohu ‘ala Muhammadin wa aalihith-thoohiriin
Walhamdulillah
Wallohu a’lam bishshowab

Tidak ada komentar: