Cari Blog Ini

Selasa, 21 Juni 2011

Lemah (Permata Hikmah Syaikh Abdul Jabbar Al-Nifari)

Agustus 2, 2008 oleh MIIQ DM

“Ketika kau merasa paling lemah di antara yang lemah…, tidakkah kau merasakan Cinta-Ku?”*

Dalam satu masa dalam hidup kita, kita pasti pernah didera oleh bertubi-tubi guyuran hujan permasalahan. Sehingga seakan-akan tubuh kita terendam oleh air bah masalah sampai batas dagu yang sudah coba kita tegak-tegakkan, akibatnya bernafas pun susah. Maka pada titik ini kesadaran logika menipis. Kepercayaan pada kemampuan diri mulai pupus. Pikiran dan hati coba menggapai-gapai sepotong papan untuk berpegang dengan harapan air bah masalah tak menenggelamkan. Alih-alih mampu mengentaskan diri kita ke daratan penyelesaian.

Dalam pusaran badai seperti ini, kita percaya bahwa sepotong papan itu adanya di sana. Di luar diri kita. Diri sendiri tak lagi berarti apa-apa, tak lagi punya kekuatan apa-apa. Seperti sebatang pokok pisang yang hanyut di aliran sungai. Lemah, pasrah lagi tak berdaya. Tiada kuasa.

Kita merasa bahwa diri kita telah tiba di titik nadir yang paling rendah serendah-rendahnya. Dan pada remang kesadaran, sering berkelebat banyak sinar yang tampak bagai cahaya terang. Semua terlihat sebagai cahaya keluar. Padahal cahaya demikian beraneka spektrumnya. Kesempitan serta kelemahan kita tentu tak mampu menanda mana cahaya yang sebenar-benarnya. Kecuali Sang Pemilik Cahaya berkenan menunjukkannya.

Lalu apa yang harus kita panggul untuk menghadap, mengharap kemurahan setitik cahaya. Sedang, semua sudah punah. Hanya tinggal seonggok diri beserta sekeping ruhani yang masih menyertai. Ia Yang Maha Kaya tak butuh segala rupa, sebab Ia tak pernah meminta. Kita lah yang wajib memberi, karena kita diadakan untuk mengabdi.

Maka yang layak kita pikul hanyalah sebuah hati yang mengabdi. Hati yang disarati kesadaran bahwa kemanusiaan kita hitam legam. Keberadaan kita dalam martabat kehinadinaan. Kekuatan kita adalah kehampaan fatamorgana. Dan mahkota permata ruhani kita, tak pernah kita saput dari jelaga yang kesat mengerak, sehingga sekerdip cahayapun tak mampu memantul untuk memberi suar pada hari-hari kita yang senantiasa malam tak berkesudahan. Kita adalah selemah-lemahnya jasmaniah. Tak lebih tinggi dari muka tanah.

Dan ketika kita telah tiba dalam kebersadaran demikian, tak terasa bulir-bulir rahmat tiba-tiba deras menghujan. Membikin kuyup hati kecil yang menggigil kedinginan.

Tidak ada komentar: