Cari Blog Ini

Senin, 20 Juni 2011

Mutiara hikmah Ibnu Arabi

Agustus 3, 2008 oleh MIIQ DM

“Perjalanan Melihat Allah”

Allah berfirman “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” (Mu’min:25). Demikianlah sifat ketuhanan apabila diterapkan kepada hamba bukan berarti akan menunjukkan kemuliaan dan ketinggiannya, karena di sini terjadi penyamaan dari apa yang semestinya dimiliki oleh hamba berupa memerlukan menjadi apa yang semetinya dimiliki oleh Ilahiyah berupa pemberian.

Demikian apa yang terjadi dalam kisah Isra’, kehambaan yang dimiliki oleh Rasulullah sudah sedemikian sempurna, bahkan telah dinisbatkan kepada Allah, yaitu sebutan “hamba-Nya”, maka hak dari Ketuhanan adalah memberinya imbalan kepadanya dengan megangkatnya menembus keghaiban dari Yang Ghaib. Ketika turun kehambaan Rasulullah s.a.w. hingga ke tingkat hamba yang haqiqi, maka diangkatnya ia ke atas kemuliaan ghaib. Dari sini beliau menyaksikan kebenaran sebagai perseorangan. Cinta akan membangkitkan rasa memiliki, sehingga tidak lagi bisa memberikan. Seorang hamba mungkin mampu memberikan, namun ia telah terbatasi, maka di sana tidak nampak olehnya apapun kecuali nama Dzat yang Maha Gahib itu.

Ketika wahyu diturunkan kepada Rasulullah untuk Isra’, maka itu adalah ajakan bercengkerama, karena datang di malam hari. Bercengkerama adalah pembicaraan yang paling tinggi, karena di dalamnya mengandung ungkapan-ungkapan manis, mengandung petuah mengajak kepada kedekatan yang murni.

Tanda-tanda yang disaksikan oleh Rasulullah s.a.w. sebagian nampak di atas ufuk dan sebagian lagi ada dalam dirinya. Allah berfirman “Akan aku tunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri” (Fussilat : 53), “Dan di dalam dirimu (terdapat tanda-tanda kebesaran Allah) apakah kalian tidak menyaksikannya” (al-Dzariyat:21). Kedekatan (Jibril) kepada Rasulullah s.a.w. sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi (An-Najm:9) merupakan tanda-tanda yang nampak di ufuk yang membuktikan keberadaan maqam hamba dari Tuhannya dan menunjukkan maqam kecintaan (mahabbah) dan kedekatannya kepada Allah, “Lalu dia (Jibril) menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan”, inilah maqam bercengkerama dengan Yang Maha Ghaib.

Allah pun menegaskan “Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya” (An-Najm:11). Nurani yang diungkapkan dengan kata “fuad” adalah hati dari hati (qalb). Nurani bisa melihat, demikian hati bisa melihat. Hati bisa melihat mulai dari kebutaan lalu ia menerima kebenaran yang ditunjukkan dan didekatkan kepadanya, sesuai firman-Nya “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada” (al-Hajj: 46). Nurani tidak akan pernah buta karena ia samasekali tidak berhubungan dengan mahluk, ia hanya behubungan dengan Tuhannya, dan dia berhubungan dengan Tuhannya semata melalui jalan ghaib yang paling tinggi, sesuai dengan maqam dan tingkatannya.

Itulah mengapa Allah menegaskan “Nurani tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya” (An-Najm:11). Sering mata salah melihat, meskipun ungkapan ini hanya dari orang yang bodoh semata, karena yang salah melihat adalah pengendalinya bukan apa yang dilihat oleh panca indera. Mereka yang berkata mata telah salah lihat karena tidak sesuai dengan hakikat, maka ini berarti membohongi pemilik mata, karena sifat bohong tidak pernah terjadi pada mata.

Hamba yang ada pada kisah Isra’ di atas, adalah hamba yang benar-benar hamba, yang disucikan dalam kehambannya. Begitu juga tentang Yang Maha Ghaib adalah puncak dari keghaiban. Tanda-tanda yang dilihatnya dalam dirinya, merupakan cernaan dari kehambaan hamba terhadap kaghaiban ghaib dengan menggunakan mata nurani, maka tidak ada seorangpun yang melihatnya. Sedangkan tanda-tanda yang ada di ufuk adalah apa yang dilihat oleh Rasulullah s.a.w. pada bintang-bintang, langit, tangga-tangga naik, derikan Qalam, Singgasana dan Sidratul Muntaha. Ini semua menunjukkan bagaimana maqam hamba yang telah dikhususkan oleh Yang Maha Ghaib.

Allah mengingatkan “(Masjidil Aqsha) yang Kami Berkahi apa sekelilingnya”. Allah tidak menyebutkan berkah Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha itu sendiri, karena sudah jelas, keduanya merupakan tempat berduyun-duyunnya manusia karena kemuliaannya. Masjidil Haram kepada Masjidil Aqsha ibarat Sorga dan Neraka, “Sorga senantiasa dikelilingi dengan hal yang dibenci” seperti firman Allah: “Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok” (al-’Ankabut:67). Dan “Neraka senantiasa dikelilingi dengan nafsu syahwat”, seperti firman Allah “Masjidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya”.

Tidak ada komentar: