Cari Blog Ini

Kamis, 23 Juni 2011

Di atas Sajadah Cinta


Juli 18, 2008 oleh MIIQ DM

Kota Kufah terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagaian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa. Diserambi masjid Kufah seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat‐ayat suci Al‐Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta.

Orang‐orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya.

Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah.

Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian. Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat‐ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala‐yala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat‐ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menagis,

“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man dassaaha…”
Artinya;

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa yang itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya….”

Hatinya bertanya‐tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali‐kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, dipinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu‐lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap‐kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.

Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari‐nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang meneragi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair
cinta,

“In kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’ wal hubb al wariq…”

Artinya;
“Jika aku pencinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar…”

***

Gadis itu terus manari‐nari dengan riangnya. Hatinya berbunga‐bunga.

Diruangan tengah, kedua orang tuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya.
Sang ibu berkata,

”Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik‐baik syair‐syair yang ia dendangkan.”

“Ya, itu syair‐syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang dipasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”

“Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu, Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”

“Tak perlu! Kita tak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”

“Tapi engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, disebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan
dikelilingi ileh teman‐temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak lenggokkan tubuhnya
diiringi suara gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.

“Be… benarkah?”

“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia‐siakan kesempatan ini, Yasir !”

“Baiklah. Bersenang‐senang dengannya memang impianku.”

Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari‐nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduannya benar‐benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu
membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,

“Apakah And punya waktu malam ini bersamaku?”

Yasir tersenyum dan mengaggukkan kepalanya. Keduanya terus menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking‐lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***

Keesokan harinya. Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk Saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat‐ayat suci Al‐Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaraya yang sakit.

Zahid berjalan melewati kebun korma yang luas, saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun korma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup‐sayup telinganya menangkap suara.

“Tolong! Tolong!!” Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

“Tolong! Tolong!!” Suara itu semakin jelasa terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bias menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

“Tolong! Tolong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar hal itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat‐cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,

“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya.

“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa‐apa?”

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,

“Alhamdulillah, tidak apa‐apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”

“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangan ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau kemana Tuan?”

Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih mempesona. Hatinya bergetar habat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat‐cepat menundukkan kepalanya.

“Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudarku yang sakit.”

“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma didalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain,” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.

“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa‐gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”

“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba‐tiba gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Sumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namku Afirah. Kebun ini milik ayah ku . Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan dating ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagi ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau.

“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apa‐apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”

Terpaksa zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kaki nya melanjutkan perjalanan. Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan.

Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca‐kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun korma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang‐orang tentang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba‐tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata;

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Tersa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba‐Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba‐tiba ia tersenyum,

“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan dating kemari.”

Hatinya berbunga‐bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk
matanya.

***

Sementara itu di dalam Masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis disebelah mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun korma tadi pagi ia tidak bias mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung‐relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al‐quran dan dalam apa saj yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh‐jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu‐khusyu–nya namun usaha itu sia‐sia.

“Ilahi, kasihanilah hamba‐Mu yang, lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta‐Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang mahluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun‐embun cinta yang menets‐netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk‐Mu.“

Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan sang Pencipta hati, cinta dan segala keindahan semesta. Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda‐noda nafsu.

Anehnya, semakin ia meratap embun‐embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab‐Nya. Rasa cinta dan rindunya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan. Menjelang subuh, ia terbagun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat tahajud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari di dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”

Ia lalu bangkit, wudhu dan shalat tahajud. Di dalam sujudnya ia berdoa;

“Ilahi, hamba mohon ridha‐Mu dan surga. Amin.
Ilahi lindungi hamba dari murka-Mu dan neraka. Amin.
Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada‐Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin.
Ilahi hamba mohon ampunan‐Mu, rahmat‐Mu, cinta‐Mu, dan Ridha‐Mu.
Amin ya robbal alamin…”

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan kearah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afirah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksamaj awaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengar jawaban ayah Afirah;

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”

Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bias menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca‐kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali‐kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfar dan ….Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek, Kepada Zahid.


Assalamu’alaikum…

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku . Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bias ku ingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama‐lamanya.

Zahid, Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, Aku akan datang ketempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau, kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam…
Afirah

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bias dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.

Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga‐bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristigfar sebanyak‐banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Afirah.


Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki…

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata‐mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka‐Nya.

Afirah, Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka.

Afirah, ”Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzzba yaumin ‘adhim!”, “Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb‐ku”. Az‐Zumar:13

Afirah, Jika kita terus bertakwa, Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada‐Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya;

“Wanita‐wanita yang tidak baik adalah untuk laki‐laki tidak baik, dan laki‐laki yang tidak baik adalah buat wanita‐wanita yang tidak baik (pula, dan wanita‐wanita yang baik adalah untuk laki‐laki yang baik dan laki‐laki yang baik adalah untuk wanita‐wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”

Karena aku ingin mendapatkan bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah, Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam…
Zahid.

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Swt.

Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Diatas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, Yaitu cinta kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar‐benar larut dalam samudera cinta kepada Allah Swt.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah;


Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum…

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba‐Nya yang bertaqwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. secapatnya.

Wassalam…
Afirah.

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga‐bunga cinta bermekaran dalam hatinya.

Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

Al-Hamdulillah, “Pujian itu hanya untuk Allah.”





Kota Kufah.

Kufah (الكوفة) merupakan sebuah kota di Iraq. Ia terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Bagdad. Diperkirakan kota ini mempunyai 110.000 penduduk pada 2003.

Bersama-sama dengan Karbala dan Najaf, Kufah merupakan salah satu dari tiga kota terpenting di Iraq untuk golongan Syiah.Di era Khalifah Saidina Ali, pusat administrasi dipindahkan dari Madinah Al-Munawarah ke Kufah. Di sinilah Saidina Ali meninggal akibat tikaman pedang Ibnu Muljam.Makam Saidina Ali bin Abi Talib pula berada di Najaf. Menurut keterangan warga Iraq seorang pilot MAS, Makam tersebut amat diyakini oleh penduduk Syiah. Kawasan pekuburan amat luas dan diyakini merupakan perkuburan yang terluas di dunia.

Tidak ada komentar: