Cari Blog Ini

Jumat, 22 Juli 2011

Ilmu dan Kebahagiaan

Bismillahirrahmanirrahim... :-)

Dalam bukunya, Tasauf Modern, Prof. Hamka pernah menyalin sebuah artikel karya Al-Anisah Mai berjudul ”Kun Sa’idan”. Artikel itu diindonesiakan dengan judul: ”Senangkanlah hatimu!”

Dalam kondisi apa pun, pesan artikel tersebut, maka ”senangkanlah hatimu!” Jangan pernah bersedih. Dalam kondisi apa pun.

”Kalau engkau kaya, senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit....”

”Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang selalu menimpa orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepada engkau lagi, lantaran kemiskinanmu...”

”Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu! Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacatmu...”

”Kalau tanah airmu dijajah atau dirimu diperbudak, senangkanlah hatimu! Sebab penjajahan dan perbudakan membuka jalan bagi bangsa yang terjajah atau diri yang diperbudak kepada perjuangan melepaskan diri dari belenggu.”

Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah, yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Tapi, apakah yang dimaksud bahagia? Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka, bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Maka, setelah dia dapat, dia menjadi pecinta harta. Toh, setelah harta melimpah ruah, kebahagiaan itu pun tak kunjung menyinggahinya. Harta yang disangkanya membawa bahagia, justru membuatnya resah. Hidupnya penuh porblema. Masalah demi masalah membelitnya. Tak jarang, harta justru membawa bencana. Kadang, harta yang ditumpuk-tumpuk, menjadi ajang konflik antar saudara.

Sebagian orang mengejar kebahagiaan pada diri wanita cantik. Dia menyangka setelah mengawini seorang wanita cantik, maka dia akan bahagia. Tapi, tak lama kemudian, bahtera rumah tangganya kandas. Di depan sorot kamera, tampak mempelai begitu bahagia, bersanding wanita cantik. Namun, kecantikan sering menjadi fitnah dan kemudian membawa bencana. Pujian yang bertabur dari umat manusia tak membuatnya bahagia.

Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sebab, kekuasaan memang sebuah kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Tapi, betapa banyak manusia yang justru hidup merana dalam kegemilangan kekuasaan. Dia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan, setelah kuasa di tangan. Sebelum memegang kuasa, senyuman sering menghiasai bibirnya. Namun, setelah kuasa di dalam genggaman, kesulitan dan keresahan justru menerpanya, tanpa henti.

Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan!
Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan!
Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan!
Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran!
Dan sangkaan-sangkaan lain...

Tapi, sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak pada itu semua. Semua kenikmatan duniawi bisa menjadi tangga yang mengantar kepada kebahagiaan. Semuanya adalah sarana. Bukan bahagia itu sendiri. Lihatlah, betapa banyak pejabat yang hidupnya dibelit dengan penderitaan. Lihat pula, betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang!

Jika demikian, apakah yang disebut”bahagia” (sa’adah/happiness).

Selama ribuan tahun, para ahli pikir, telah sibuk membincang tentang kebahagiaan. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan ”happiness” sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.” Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia.

Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.” Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus, yang selalu berusaha mendorong batu ke atas bukit. Tapi, ketika batu sudah sampai di atas bukit, digelindingkannya kembali batu itu ke bawah. Kemudian, dia dorong lagi, batu itu ke atas. Begitu seterusnya. Tiada pernah berhenti.

Itulah perumpamaan tentang kondisi batin masyarakat Barat yang menganut paham relativisme dan tidak mengenal kebenaran pada satu titik tertentu. Ketika sampai pada satu tahap tertentu, dia kembali menghancurkan dan mencari lagi. Mereka selalu dalam pencarian. Tidak akan pernah puas. Laksana meminum air laut. Jika sudah mendapatkan satu gunung emas, mereka akan mencari lagi gunung emas yang kedua.

Berbeda dengan pandangan tersebut, Prof. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:

”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).

Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampong halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.

Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan: ”Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.” Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair:

ولست آرى السعادة جمع مال * ولكن التقى لهي السعيد

(Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda; Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).

Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ”ma’rifatullah”, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:

”Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada ma’rifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah.”

Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan, bahwa ”Tiada Tuhan selain Allah” (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ”ayat-ayat-Nya”, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Alam semesta ini adalah ”ayat”, tanda-tanda, untuk mengenal Sang Khaliq. Maka, celakalah orang yang tidak mau berpikir tentang alam semesta.

Disamping ayat-ayat kauniyah, Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa ”Tiada tuhan selain Allah”, dan bersaksi bahwa ”Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam.” Risalah kenabian Muhammad saw telah menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya.

Inilah yang disebut sebagai ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam, harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati, yang terkait antara dunia dan akhirat. Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta’dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri, dan sebagainya. Tetapi, apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal dan bahagia beribadah kepada Sang Pencipta.

Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya bahagia dalam keimanan dan keyakinan; yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh setiap keadaan. Dalam kondisi apa pun, hidupnya bahagia, karena dia sudah mengenal Allah, ridha dengan keputusan Allah, dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.

Dalam kondisi apa pun, dalam posisi apa pun, manusia semacam ini akan hidup dalam kebahagiaan. Fa laa khaufun ’alaihim wa laa hum yahzanuun. Hidupnya hanya mengacu kepada Allah, dan tidak terlalu peduli dengan reaksi manusia terhadapnya. Alangkah indah dan bahagianya hidup semacam itu; bahagia dunia dan akhirat.

Karena itu, kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus keyakinan seseorang akan kebenaran. Keyakinan adalah harta yang sangat mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Iqbal, seorang Ibrahim a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Karena itu, kata penyair besar Pakistan ini, hilangnya keyakinan dalam diri seseorang, lebih buruk dari suatu perbudakan.

Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacam itu; hidup dalam keyakinan; mulai dengan mengenal Allah dan ridha menerima keputusan-keputusan-Nya, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita ingin, bahwa kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar.

Mudah-mudahan, Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin.



Oleh: Adian Husaini

Kamis, 21 Juli 2011

Imam Ali as Sosok Pembela Keadilan dan Orang-orang Tertindas

Imam Ali bin Abi Thalib as dan para pembela kaum tertindas datang ke dunia untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan. Mereka bangkit dengan tujuan ini dan memegang kendali kekhalifahan dengan mengingat tujuan ini pula. Namun dunia seisinya hampir tidak menerima hukum dan prinsipnya.

Orang-orang yang tidak adil dan kejam amat besar jumlahnya dan mempunyai pengikut yang banyak dan kekuatan yang besar. Tugas yang hendak dicapai Imam Ali amat berat dan berbahaya.

Imam Ali mengatakan pada orang-orang agar jangan menjadi penindas atau tertindas. Ia menghendaki agar tak ada orang menindas orang lain dan tak seorang pun boleh mentolerir penindasan.

Namun orang-orang di zamannya tidak siap, menerima pandangan Imam Ali ini dan enggan mendukung cita-citanya. Keadaannya sedemikian rupa sehingga orang-orang tertindas pun tidak memihak kepadanya, karena mereka begitu terpesona oleh para penindas dan takut akan permusuhan dan pembalasan mereka.

Mereka begitu dungu sehingga menerima suap dari musuh-musuh Imam Ali dan menarik dukungan mereka kepadanya. Lama kelamaan hanya orang-orang yang bertakwa dan berani yang tersisa, dan mereka tidak meninggalkannya dalam keadaan bagaimanapun.

Namun, apakah layak Imam Ali berkecil hati dan melunak pada saat kekuatan jahat telah membentuk satu front untuk menentangnya? Mungkinkah orang yang berani kehilangan semangat lalu melepaskan segala usaha karena dia menghadapi bencana dan kesukaran yang disebabkan orang-orang yang berprilaku seperti binatang buas di sekitarnya, terutama pada saat setiap, orang takut mati pula?

Apakah Imam Ali harus patah semangat dan melempem ketika musuh menjadi semakin beringas, ketika semua pewenang yang kehilangan rasa kebijaksanaannya menjual agamanya demi kesenangan dunia, harta, dan kedudukan secara bodoh, menciptakan kekacauan di kota-kota, bersikeras dalam penindasan, penuh kesombongan dan tipuan, mengada-adakan bid’ah dan kesia-siaan, memuji kebatilan dan kejahatan sambil terus mengharap hadiah, melenyapkan keadilan dan kejujuran, menciptakan huru-hara, kekacauan, kezaliman, dan kekejaman tanpa batas?

Apakah ia akan menjadi lemah dan tak berdaya bila kondisi orang-orang di sekitarnya seperti ini: “Orang yang minta tolong kepada mereka tidak akan berhasil; orang yang menemui mereka tidak akan memperoleh kedamaian; siapa saja yang ditemani mereka dalam pertempuran akan menderita kekalahan; mereka tuli walaupun punya telinga, bisu walaupun punya kemampuan berbicara; mereka tidak tabah dalam peperangan seperti halnya para pemberani yang penuh semangat; tak seorang pun dapat bergantung pada simpati dan dukungan mereka pada saat kesulitan?”

Dalam kondisi seperti itu, tentu saja orang akan merasa lemas tak berdaya dan berpangku tangan. Tetapi hal ini tidak akan pernah terjadi pada Imam Ali bin Abi Thalib.

Cintanya yang mendalam kepada setiap manusia mendorongnya untuk tidak menunjukkan kemurahan hati sedikit pun kepada orang yang memudaratkan rakyat, walaupun ia harus mengorbankan hidupnya dalam perjuangan melawan mereka.

Orang yang menganggap sikap berdiam diri di hadapan penindas sebagai tanda cinta, kebaikan dan kelemah-lembutan adalahpembohong atau tidak mengenal watak manusia, karena keadaan yang sebenarnya adalah sebaliknya.

Cinta dan kebaikan yang sesungguhnya kepada umat manusia berarti menindak para penindas dengan keras dan tegas sehingga mereka membebaskan manusia dari perbudakan. Dalam keadaan tertentu keramahan dan kelembutan memaksa manusia untuk bertindak amat keras.

Manusia mencintai keindahan sebagaimana ia membenci keburukan. Ia membenci ketidakadilan dan penindasan sebagaimana ia menginginkan keadilan. Ia sama takutnya akan dinginnya kematian sebagaimana ia sangat menyukai hangatnya kehidupan.

Seseorang tak dapat menebaskan pedang pada leher pendurhaka dan penindas, kecuali apabila ia memandang kehidupan sebagai suatu rahmat. Singkatnya, orang yang tidak dapat membenci tak akan dapat pula mencintai.




Dikutip dari buku Suara Keadilan: Sosok Agung Ali bin Abi Thalib RA, Karya George Jordac, Penerbit Lentera

Senin, 11 Juli 2011

Pemimpin Yang Adil

Dalam pandangan Islam para penguasa atau pemimpin dapat dikatakan adil apabila mereka dapat menjaga standar hidupnya sesuai dengan standar hidup orang-orang yang berpenghasilan rendah.

Taraf kehidupan seorang penguasa muslim harus sama dengan taraf hidup orang-orang yang paling rendah (miskin) yang hidup dalam wilayah kekuasaannya, agar terdapat suatu ikatan yang nyata antara si penguasa dengan orang-orag yang miskin itu!

Jika tidak mereka tidak akan mau menerima kepemimpinan nya dan tidak akan memberikan dukungan sepenuh hatinya. Suatu perasaan jauh antara mereka dengan si pemimpin atau si penguasa akan menimbulkan rasa benci kepadanya. Ajaran yang mengandung prinsip yang sangat penting ini pernah disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as kepada bawahannya ketika beliau menjadi Khalifah pada saat itu.

Suatu hari Imam Ali as pergi ke Basrah mengunjungi sahabatnya yang bernama Ala untuk menanya kan kesehatannya. Ala ternyata memiliki sebuah rumah yang besar. Ketika Imam Ali as , sang Khalifah melihat rumahnya itu beliau berkata, Untuk apa rumah sebesar ini di dunia. Apakah kamu tidak lebih membutuhkan pertolongan dari rumah semacam ini di Hari Kemudian? Jika kamu hendak memperolehnya maka masuklah ia ke pusat keramahtamahanmu untuk kebajikan dan untuk mempertahan kan kebenaran, sehingga kelak di Hari Kemudian (Hari Pengadilan) engkau akan mendapatkan pertolongan dari hartamu ini” Ala lantas berkata:

“Wahai Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman) bagaimana dengan saudaraku, Asim?”
Apa yang telah dilakukannya?”
Dia telah menolak kehidupan dunia dan hanya memakai pakaian dari bulu domba”
Panggil dia kemari!”

Ketika Asim datang, Imam Ali as berkata kepadanya:

Kamu adalah musuh bagi dirimu sendiri. Setan telah merasukimu. Mengapa engkau tidak memuliakan isteri dan anak-anakmu? Apakah engkau tidak suka memakai barang-barang yang telah diciptakan dan dihalalkan Allah bagimu? Perbuatanmu ini dipandang hina oleh Allah!” Asim berkata: “Wahai Amirul Mu’minin. Anda sendiri memakai pakaian yang sangat buruk dan memakan makanan yang sedikit” Imam yang dimuliakan Allah itu berkata: “Kasusku berbeda dengan kasusmu. Allah menyukai para pemimpin keadilan utuk menjaga kehidupannya dalam batas-batas kehidupan orang-orang miskin agar rakyat tidak salah mengerti terhadapnya”

Itulah sebabnya dalam Islam ditegaskan agar seorang penguasa atau pemimpin ummat Islam pertama-tama dia harus menjelaskan posisinya dan keluarganya dengan memperhatikan standar kehidupannya. Jika mereka berkeinginan memimpin orang-orang yang papa dan miskin, maka mereka harus tampil dengan keadilan atau tidak sama sekali!

Seorang penulis Kristen, George Jordac menulis di dalam bukunya “Voice of Justice”, katanya : “Jika Anda ingin menggerakkan air yang ada di dalam kolam kecil maka Anda dapat melakukannya cukup dengan menggerakkan tangan Anda, sehingga gelombang air akan bergerak saling bertabrakkan. Tetapi itu tidak dapat terjadi jika Anda lakukan di sebuah kolam renang. Kecuali jika Anda melemparkan sebuah batu besar ke dalam kolam renang tersebut! Akan tetapi hal itu berbeda jika air itu berupa danau yang besar, Anda tidak dapat membuat air menjadi bergelombang kecuali Anda melemparkan sebuah gunung ke dalamnya! Hal yang sama tidak dapat Anda lakukan pada sebuah lautan, kecuali jika Anda melemparkan sebuah planet ke dalam lautan tersebut! Tapi saya (George Jordac) mengetahui sebuah laut yang tidak dapat digerakkan sama sekali kecuali oleh satu hal! Yaitu jeritan orang yang dizalimi!

Lautan itu adalah Ali bin Abi Thalib! Seorang yang berbagai hasrat keinginan dan bermacam syahwat tidak mampu menggerakkannya! Akan tetapi jeritan seorang wanita Yahudi yang berada dibawah perlindungan Pemerintahan Islam telah menggerakkan dan mengguncangkannya” (George Jordac, Voice of Justice)


Quito Riantori
Utan Kayu, 18 Mei 2000.

Senin, 04 Juli 2011

PELAJARAN PERTAMA – TAFSIR SURAT AN NUR AYAT 1 – 10

MUQADDIMAH

Dalam muqaddimah ini akan dibahas hal-hal berikut ini, yaitu :

1. Identitas Surah An Nur

2. An Nur dan Kaitannya dengan nama surat

3. Keutamaan surah An Nur

4. Hubungan surah An Nur dengan surah sebelumnya

5. Pokok-pokok pikiran dalam surah An Nur


1. Identitas Surah An Nur

Surah An Nur adalah surah ke 24 dalam urutan mushaf Al Qur’an. Surah ini berisi 64 ayat, dan merupakan surah Madaniyah[1] karena surah ini turun setelah Rasulullah hijrah di Madinah, sehingga kesepakatan ulama menyebut surah ini dengan nama surah Madaniyah.[2]

Letak surah An Nur dalam urutan mushhaf berada di antara dua surah Makkiyah, yaitu surah Al Mu’minun dan surah Al Furqan. Sedangkan dari sisi turunnya, surah An Nur ini seperti yang dituturkan oleh Abdullah Ibnu Abbas, turun setelah surah An Nashr dan sebelum surah Al Hajj. Dalam riwayat lain menurut Ali bin Abi Thalhah, surah An Nur turun setelah surah Al Hajj dan sebelum surah Al Ahzab .[3]


Penamaan surah ini dengan nama “An Nur” sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada nama lain selain nama An Nur. Sabda Nabi riwayat Imam Mujahid.[4] :

عن مجاهد ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « عَلِّمُوْا رِجَالَكُمْ سُوْرَةَ الْمَائِدَةِ وَعَلِّمُوْا نِسَاءَكُمْ سُوْرَةَ النُّوْرِ »


Artinya: Diriwayatkan dari Mujahid bahwa dia brekata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Ajarkan kepada para laki-laki kalian surah Al Maidah dan ajarkan kepada wanita-wanita kalian surah An Nur. [5]

Demikian juga diriwayatkan dari Khlaifah Umar bin Al Khatab :

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، كَانَ يَكْتُبُ إلَى الْآفَاقِ : لَا تَدْخُلَنَّ امْرَأَةٌ مُسْلِمَةٌ اَلحْمَامِ إِلاَّ مِنْ سَقَمٍ ، وَعَلِّمُوْا نِسَاءَكُمْ سُوْرَةَ النُّوْرِ


Dari Umar bin Al Khattab bahwa dia menulis surat ke segenap penjuru yang isinya : “Janganlah seorang wanita yang muslimah itu memasuki pemandian umum, kecuali untuk berobat dari sakit dan ajarkanlah, wahai para laki-laki, kepada istri-istri kalian surat An Nur”. [6]

2. An Nur dan Kaitannya dengan nama surat

Kata nur berasal dari akar kata nara-nuran, yang berarti menerangi, semakna dengan kata anara, nawwara, istanaara.[7]

Dalam bentuk kata benda yang memiliki kedekatan makna dengan kata nur adalah kata nar (api), yaitu unsur alamiah yang aktif mengeluarkan cahaya, panas, dan membakar, sering disebut juga dengan al lahab, ketika menjilat-jilat.

Sedang kata nur berarti cahaya, yaitu penerang yang menjelaskan sesuatu sehingga terlihat hakekat yang sesungguhnya. [8]

Di dalam Al Qur’an kata “nur” dan bentukannya diulang kurang lebih sebanyak 43 kali dalam beberapa bentuk,[9] diantaranya :

a. 10 kali kata “an nur” dengan tambahan “al”
b. 17 kali kata “nur” tanpa “al”
c. 1 kali digabung dengan dhamir (kata ganti) “kum” (kamu semua)
d. 1 kali digabung dengan dhamir (kata ganti) “na” (kami/kita)
e. 3 kali digabung dengan dhamir (kata ganti) “hu/hi” (dia/nya)
f. 1 kali digabung dengan dhamir (kata ganti) “hum/him” (mereka)

Dari 43 kali penyebutan kata “nur” dapat dikelompokkan dalam dua kelompok makna, yaitu nur ukhrawi dan nur duniawi.

Nur ukhrawi yaitu cahaya yang dimiliki orang-orang beriman di hari kiamat. Firman Allah :

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ


Artinya: Pada hari ketika kamu melihat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan sebelah kanan mereka. (QS. Al Hadid/57:12)


يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آَمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ


Artinya: Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagiandari cahayamu”. Dikatakan kepada mereka: “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya”. (QS. Al Hadid/57:13)


وَالَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ


Artinya: Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang shiddiqin dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. (QS. Al Hadid/57:19)


وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


Artinya: Sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. At Tahrim/66: 8)


Cahaya duniawi ada dua macam, yaitu :

a. Cahaya yang dapat ditangkap oleh al bashar (mata kepala) seperti cahaya matahari, bulan, lampu, dan lentera. Seperti dalam firman Allah:


هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا


Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. (QS. Yunus/10: 5)


b. Cahaya yang hanya dapat ditangkap oleh al bashirah (mata hati). Seperti penyebutan Islam dengan kata nur. Firman Allah :


يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ


Artinya: Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyembpurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (QS. Ash Shaff/61:8)


Kata An Nur dalam Al Qur’an sering kali dugunakan untuk menunjukkan makna yang berbeda-beda, yaitu:


a. Al Iman, seperti dalam firman Allah :


اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آَمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ


Artinya: Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah/2: 257)


b. Risalah agama, seperti dalam firman Allah:


يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ


Artinya: Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walupun orang-orang kafir tidak menyukai. (QS. At Taubah/9: 32)


c. Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seperti dalam firman Allah:


قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ


Artinya: Sesugguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. (QS. Al Maidah/5:15)



d. Al Qur’an. Seperti dalam firman Allah:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا


Artinya: Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah Kami turunkan kepamu cahaya yang terang benderang (Al Qur’an). (QS. An Nisa/4: 174)


e. Kitab suci sebelum Al Qur’an. Firman Allah:


إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا


Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara-perkara orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah. QS. Al Maidah/5:44


f. Petunjuk yang menerangi. Firman Allah:


وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ


Artinya: Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah ia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. An Nur/24:40)


g. Sifat atau Asma (nama Allah). Seperti dalam firman Allah:


اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لاَ شَرْقِيَّةٍ وَلاَ غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ


Artinya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (sesuatu), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak dusentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An Nur/24: 35)


Dalam kerangka inilah surah An Nur dinamakan. Karena surah ini memancarkan penerang kehidupan, dengan menetapkan hukum-hulum, adab-adab Islamiyah yang dapat memelihara keturunan dan kehormatan.


Semua ini berasal dari nur Allah yang menerangi hati kaum mukminin lewat penerangan wahyu, sebagaimana Allah menerangi alam raya dengan matahari, bulan, bintang, dan benda-benda bercahaya lainnya.


Dengan cahaya Allah inilah langit dan bumi menjadi terang, dan dengan nur Allah pula kehidupan menjadi terbimbing dan benar.


Penamaan surah 24 ini dengan nama surah An Nur sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada nama lain selai nama An Nur.


3. Keutamaan Surah An Nur


Surah An Nur merupakan salah satu surah dalam Al Qur’an yang menekankan pada perlunya pembentukan masyarakat saleh secara operasinal yang dimulai dengan pembentukan pribadi, dan keluarga yang saleh.


Dari itulah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan pesan khusus pengajaran surah ini kepada kaum wanita yang akan menjadi pengelola rumah tangga.


Said ibn Mansur, Ibnu Al Mundzir, dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Mujahid berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


عَلِّمُوْا رِجَالَكُمْ سُوْرَةَ الْمَائِدَةِ وَعَلِّمُوْا نِسَاءَكُمْ سُوْرَةَ النُّوْرِ


Artinya: Ajarkan kepada para laki-laki kalian surah Al Ma’idah. Dan ajarkan kepada para wanita kalian surah An Nur. [10]


Haritsah ibn Mudhrib berkata: Umar bin Khaththab memerintahkan kami untuk mengajarkan surah An Nisa, Al Ahzab dan An Nur.[11]


4. Hubungan Surah An Nur dengan Surah Al Mu’minun


Antara surah An Nur dan surah sebelumnya (Al Mu’minun) terdapat hubungan tema yang saling berkaitan. Dalam surah Al Mu’minun terdapat pernyataan-pernyataan global atas berbagai persoalan, dan pada surah An Nur dijelaskan rincian dari persoalan-persolan itu dengan detail dan aplikatif.


a. Pada awal surah Al Mu’minun disebutkan salah satu ciri orang beriman yang beruntung adalah mereka yang menjaga mulutnya dari pembicaraan yang tidak berguna. Firman Allah :


وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ


Artinya: …dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. (QS. Al Mu’minun/23:3)


Maka dalam surah An Nur ini diterangkan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang tidak dapat mengendalikan dari ucapan yang sia-sia, yaitu mencemarkan nama baik orang yang menjaga diri dan kehormatannya.[12]


b. Pada awal surah Al Mu’minun juga disebutkan tentang ciri orang beriman yang beruntung adalah orang beriman yang dapat menjaga kemaluannya dari perbuatan zina. Firman Allah:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ


Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. (QS. Al Mu’minun/23:5)


Maka pada surah An Nur ini dibicarakan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang tidak bisa menjaga kemaluannya.[13] Dan berlanjut kepada perangkat-perangkat yang diperlukan untuk menjaga kehormatan itu, seperti ghadhdhu-al bashar (menjaga pandangan), isti’dzan (meminta izin) sebelum memasuki rumah, menikah sebagai sarana perlindungan kemaluan dari yang haram, dan perintah iffah (menjaga diri, dengan puasa) bagi mereka yang belum mampu berpuasa.[14]


c. Pada penghujung surah Al Mu’minun Allah menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan makhluk-Nya ini tanpa tujuan, akan tetapi untuk fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tertentu. Firman Allah :


أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ


Artinya: Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?. (QS. Al Mu’minun/23:115)


Maka pada surah An Nur ini, Allah SWT menerangkan beberapa perintah dan larangan yang mengikat manusia dengan Allah SWT.[15] Dengan semikian jelaslah peran yang selalu menjadi pertanyaan abadi manusia sejak ia berfikir.


5. Pokok-pokok Pikiran dalam Surah An Nur


Surat ini sebagian besar memuat petunjuk-petunjuk Allah yang berhubungan dengan persoalan rumah tangga dan kemasyarakatan dengan berlandaskan Iman yang benar.


Pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam surah An Nur ialah masalah keimanan, syari’ah (hukum), dan kisah.[16]


a. Al Iman (Keimanan)


Dasar-dasar keimanan yang ada dalam surah An Nur ini meliputi :


1. Iman kepada Allah

Iman kepada Allah dalam surah An Nur ini disampaikan dengan menjelaskan Allah sebagai :

a. Dzat yang telah menurunkan Al Qur’an, seperti yang dijelaskan pada ayat 1, 34, dan 46.

b. Pemberi cahaya langit dan bumi, terdapat pada ayat 35.

c. Penguasa langit dan bumi terdapat dalam ayat 42, 43,44, 45, dan 64.

2. Iman kepada hari akhir/hari kiamat, ditegaskan dalam ayat 23-25.

3. Iman kepada Rasul, dalam surah An Nur ini disampaikan dengan menjelaskan Rasul sebagai :

a. Penerima wahyu Allah, terdapat pada ayat 1, dan 34.

b. Adab berkomunikasi dengan Rasulullah, terdapat pada ayat 62, 63.

c. Sikap kaum munafik terhadap Rasulullah, terdapat pada ayat 47 dan 50.

4. Keadaan orang-orang kafir di hari kiamat, dijelaskan pada ayat 39, 40.

5. Mentaati Allah dan rasul-Nya, ditegaskan pada ayat 51 sampai 54.

6. Landasan negeri beriman, dijelaskan pada ayat 55 sampai 57.

7. Proses penciptaan dan kehidupan hewan, dijelaskan pada ayat 45.


b. Syari’ah (Hukum-hukum)


1. Hukum zina, terdapat pada ayat 2-3.

2. Hukum qadzf (menuduh orang lain berbuat zina), terdapat pada ayat 4-5.

3. Hukum li’an (suami yang menuduh istrinya berbuat zina), terdapat pada ayat 6-10.

4. Izin sebelum memasuki rumah, terdapat pada ayat 27-29, 57-60.

5. Hukum Pandangan dan Hijab, terdapat pada ayat 30-31.

6. Hukum pernikahan terdapat pada ayat 32-34.

7. Makan di rumah orang tanpa izin, terdapat pada ayat 61.


c. Al Qishshah (Kisah)


Berita palsu tentang Aisyah, terdapat pada ayat 11 sampai 26.


[1] Pengertian Madaniyah dengan mengatakan sebagai ayat yang turun sesudah hijrah Nabi ke Madinah adalah pengertian yang populer di kalangan ulama ulumul-Qur’an, meskipun ayat itu turunnya di Makkah. Seperti ayat 58 surah An Nisa yang turun pada saat Fathu Makkah, atau ayat 3 surah Al Maidah. Lawannya adalah Makkiyah, yaitu ayat yang turun sebelum Nabi hijrah.


Pertimbangan lain adalah tempat turunnya ayat itu. Makkiyah adalah yang turun di Makkah dansekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah, sedangkan Madaniyyah adalah yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud dan Quba’. Pembagian ini menimbulkan adanya beberapa ayat yang tidak dapat masuk dalam dua kelompok itu. Seperti ayat yang turun di Tabuk, atau Baitul Maqdis. Dan pembatasan ini menuntut terjadinya ayat yang turun Makkah sesudah hijrah Nabi disebut pula Makkiyah.


Pertimbangan lainnya adalah dengan memperhatikan mukhathab ayat, jika khithab itu ditujukan kepada ahlu Makkah “Ya Ayyuhan-Nas” disebut Makkiyah dan khithab kepada Ahlu Madinah “Ya Ayyuhal-ladzina amanu disebut Madaniyah. Hanya saja kebanyakan ayat Al Qur’an tidak diawali dengan kalimat itu, sehingga tidak teridentifikasi.


Lihat Manna’ Al Qaththan, Mabahits fi Ulum Al Qur’an, (Dar el Fikr, T th) h. 61-62. As Suyuthi, Al Itqan fi Ulum Al Qur’an, (Beirut: Dar al Fikr, T th.) Juz I h. 9


[2] As Suyuthi, op cit, Juz I h. 11

[3] ibid.

[4] Mujahid Ibn Jabr Al Makkiy, disebut juga Abu Al Hajjaj Al Mahzumi. Lahir tahun 21 H pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, wafat 103 H. Maula (budak) As Sa’ib ibn Abi As Saib. Banyak meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Sa’d bin Abi Waqas, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Amr, dan Abdullah ibn Mas’ud, Rafi’ ibn Khudaij, Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, dan banyak lagi. Ia dikenal sebagai imam para Mufassir dari kalangan Tabi’in. Pendapatnya banyak diriwayatkan oleh Atha’, Ikrimah, Amr ibnu Dinar, Qatadah, Sulaiman al Ahwal, Sulaiman al A’masy, Abdullah ibn Katsir al Qari’, dan banyak lagi. At Tsauri berkata: “Jika sampai kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah itu. Lihat, Al Qaththan, Mabahits fi Ulumil-Qur’an, op cit, h. 384. Adz Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun, (Beirut: Darul Qalam, Tth) Cet. I, Jilid I h 109. Ash Shabuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Dinamika Keluarga, 1985), Cet I, h. 78

[5] Al Baiohaqi, Sya’bul Iman, Juz V ; hal. 432, no. Hadits 2330, As Syaukani, Fathul-Qadir, op cit, Jilid IV, h. 3. Al Maraghi, Ahmada Musthafa, Tafsir Al Maraghiy, ( Beirut: Dar El Fikr, T th) Juz, XVIII h. 66

[6] Lihat Mushonnaf ‘Abdur Rozak, Juz I, hal. 295, No. Hadits 1133

[7] Lihat Zainuddin Ar Razi, Mukhtarush Shihah, hal. 324

[8] Majma’ Al Lughah Al Arabiyah, Al Mu’jam al Wasith, (Istanbul, Turki, Al Maktabah Al Islamiyah, 1972) Cet. II Juz II h. 962

[9] Abdul Baqi, Muhammad Fuad, Al Mu’jam Al Mufahras li Alfadh Al Qur’an, (Beirut: Dar El Fikr, 1981) Cet. II h. 723-724

[10] Asy Sayuakani, op cit, Jilid IV h. 3. Al Alusi, Ruh al Ma’ani, Jilid X Juz 18 h. 112. Al Maraghi, Jilid VI Juz 18 hal 66

[11] ibid,

[12] lihat surah An Nur. Ayat 4-26

[13] lihat surah An Nur ayat 2 dan 3

[14] Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, op cit, Juz. XVIII h. 66, Hawwa, Said, Al Asas fi at Tafsir, ( Riyadh: Darussaslam, 1988), Cet.IV, Jilid VII h. 3679, Al Biqa’iy, Nadhmu ad Durar fi Tanasubi as Suwar, (Kairo, Dar Kitab al Islami,1992) Cet. II, Jilid XIII h. 202. Al Alusi, Ruh Al Ma’ani, (Beirut: Dar El Fikr, 1994) Jilid X Juz XVIII h. 111-112

[15] Hawwa, Said, op cit, h. 3679. Al Alusi, op cit,

[16] Al Qur’an dan Terjemahnya, Muqaddimah Surah An Nur, hal 542


http://imamuna.wordpress.com/2008/11/17/bab-i/