Cari Blog Ini

Kamis, 23 Juni 2011

Di atas Sajadah Cinta


Juli 18, 2008 oleh MIIQ DM

Kota Kufah terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagaian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa. Diserambi masjid Kufah seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat‐ayat suci Al‐Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta.

Orang‐orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya.

Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah.

Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian. Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat‐ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala‐yala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat‐ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menagis,

“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man dassaaha…”
Artinya;

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa yang itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya….”

Hatinya bertanya‐tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu ia ulang berkali‐kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, dipinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu‐lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap‐kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.

Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari‐nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang meneragi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair
cinta,

“In kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’ wal hubb al wariq…”

Artinya;
“Jika aku pencinta malam maka gelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar…”

***

Gadis itu terus manari‐nari dengan riangnya. Hatinya berbunga‐bunga.

Diruangan tengah, kedua orang tuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya.
Sang ibu berkata,

”Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik‐baik syair‐syair yang ia dendangkan.”

“Ya, itu syair‐syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang dipasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”

“Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu, Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”

“Tak perlu! Kita tak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”

“Tapi engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, disebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan
dikelilingi ileh teman‐temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak lenggokkan tubuhnya
diiringi suara gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.

“Be… benarkah?”

“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia‐siakan kesempatan ini, Yasir !”

“Baiklah. Bersenang‐senang dengannya memang impianku.”

Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari‐nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduannya benar‐benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu
membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,

“Apakah And punya waktu malam ini bersamaku?”

Yasir tersenyum dan mengaggukkan kepalanya. Keduanya terus menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking‐lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***

Keesokan harinya. Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk Saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat‐ayat suci Al‐Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaraya yang sakit.

Zahid berjalan melewati kebun korma yang luas, saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun korma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup‐sayup telinganya menangkap suara.

“Tolong! Tolong!!” Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

“Tolong! Tolong!!” Suara itu semakin jelasa terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bias menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

“Tolong! Tolong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar hal itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat‐cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,

“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya.

“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa‐apa?”

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,

“Alhamdulillah, tidak apa‐apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”

“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangan ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau kemana Tuan?”

Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih mempesona. Hatinya bergetar habat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat‐cepat menundukkan kepalanya.

“Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudarku yang sakit.”

“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma didalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain,” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.

“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa‐gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”

“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba‐tiba gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Sumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namku Afirah. Kebun ini milik ayah ku . Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan dating ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagi ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau.

“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apa‐apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”

Terpaksa zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kaki nya melanjutkan perjalanan. Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan.

Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca‐kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun korma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang‐orang tentang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba‐tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata;

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Tersa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba‐Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba‐tiba ia tersenyum,

“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan dating kemari.”

Hatinya berbunga‐bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk
matanya.

***

Sementara itu di dalam Masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis disebelah mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun korma tadi pagi ia tidak bias mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung‐relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al‐quran dan dalam apa saj yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh‐jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu‐khusyu–nya namun usaha itu sia‐sia.

“Ilahi, kasihanilah hamba‐Mu yang, lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta‐Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang mahluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun‐embun cinta yang menets‐netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk‐Mu.“

Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan sang Pencipta hati, cinta dan segala keindahan semesta. Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda‐noda nafsu.

Anehnya, semakin ia meratap embun‐embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab‐Nya. Rasa cinta dan rindunya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan. Menjelang subuh, ia terbagun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat tahajud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari di dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”

Ia lalu bangkit, wudhu dan shalat tahajud. Di dalam sujudnya ia berdoa;

“Ilahi, hamba mohon ridha‐Mu dan surga. Amin.
Ilahi lindungi hamba dari murka-Mu dan neraka. Amin.
Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada‐Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin.
Ilahi hamba mohon ampunan‐Mu, rahmat‐Mu, cinta‐Mu, dan Ridha‐Mu.
Amin ya robbal alamin…”

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan kearah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afirah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksamaj awaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengar jawaban ayah Afirah;

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”

Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bias menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca‐kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali‐kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfar dan ….Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek, Kepada Zahid.


Assalamu’alaikum…

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku . Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bias ku ingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama‐lamanya.

Zahid, Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, Aku akan datang ketempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau, kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam…
Afirah

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bias dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.

Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga‐bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristigfar sebanyak‐banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Afirah.


Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki…

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata‐mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka‐Nya.

Afirah, Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka.

Afirah, ”Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzzba yaumin ‘adhim!”, “Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb‐ku”. Az‐Zumar:13

Afirah, Jika kita terus bertakwa, Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada‐Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya;

“Wanita‐wanita yang tidak baik adalah untuk laki‐laki tidak baik, dan laki‐laki yang tidak baik adalah buat wanita‐wanita yang tidak baik (pula, dan wanita‐wanita yang baik adalah untuk laki‐laki yang baik dan laki‐laki yang baik adalah untuk wanita‐wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”

Karena aku ingin mendapatkan bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah, Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam…
Zahid.

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Swt.

Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Diatas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, Yaitu cinta kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar‐benar larut dalam samudera cinta kepada Allah Swt.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah;


Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum…

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba‐Nya yang bertaqwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. secapatnya.

Wassalam…
Afirah.

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga‐bunga cinta bermekaran dalam hatinya.

Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

Al-Hamdulillah, “Pujian itu hanya untuk Allah.”





Kota Kufah.

Kufah (الكوفة) merupakan sebuah kota di Iraq. Ia terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Bagdad. Diperkirakan kota ini mempunyai 110.000 penduduk pada 2003.

Bersama-sama dengan Karbala dan Najaf, Kufah merupakan salah satu dari tiga kota terpenting di Iraq untuk golongan Syiah.Di era Khalifah Saidina Ali, pusat administrasi dipindahkan dari Madinah Al-Munawarah ke Kufah. Di sinilah Saidina Ali meninggal akibat tikaman pedang Ibnu Muljam.Makam Saidina Ali bin Abi Talib pula berada di Najaf. Menurut keterangan warga Iraq seorang pilot MAS, Makam tersebut amat diyakini oleh penduduk Syiah. Kawasan pekuburan amat luas dan diyakini merupakan perkuburan yang terluas di dunia.

Syukur (1)

Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai:

(1) Rasa terima kasih kepada Allah, dan

(2) Untunglah (menyatakan lega, senang, dan sebagainya).

Dalam Al-Quran kata "syukur" dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut yaitu,

a. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.

b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.

c. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).

d. Pernikahan.

Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, bahwa kata "syukur" mengandung arti "gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan." Kata ini --tulis Ar-Raghib-- menurut sementara ulama berasal dari kata "syakara" yang berarti "membuka", sehingga ia merupakan lawan dari kata "kafara" (kufur) yang berarti menutup --(salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.

Makna yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14): 7:

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan Al-Quran:

Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur (QS An-Naml [27]: 40).

"Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Hakikat syukur adalah "menampakkan nikmat," dan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah:

Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: ll).

"dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),"

Nabi Muhammad Saw. pun bersabda,

"Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya" (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).





Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan



Menebar Kasih Sayang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :

إِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang (HR At-Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam shahih Al-Jaami’ no 2377)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Thirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)

Kata dalam مَنْ sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah isim maushuul, yang dalam kadiah ilmu ushuul fiqh memberikan faedah keumuman. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memerintahkan kita untuk merahmati orang yang sholeh saja… bahkan Nabi memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia… dan bukan hanya manusia.. bahkan hewan-hewanpun termasuk di dalamnya.

Al-Munaawi rahimahullah berkata,

بِصِيْغَةِ الْعُمُوْمِ يَشْمَلُ جَمِيْعَ أَصْنَافِ الخَلاَئِقِ فَيُرْحَمُ البَرّ وَالفَاجِرُ وَالنَّاطِقُ والْمُبْهَمُ وَالْوَحْشُ وَالطَّيْرُ

“Sabda Nabi ((rahmatilah yang ada di bumi)) dengan konteks keumuman, mencakup seluruh jenis makhluk, maka mencakup rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang yang berbicara, orang yang bisu, hewan dan burung” (Faidhul Qodiir 1/605)

Perhatikanlah para pembaca yang budiman… kita diperintahkan oleh Allah bukan hanya untuk merahmati manusia… bahkan kita diperintahkan untuk merahmati hewan…!!!

قال رجلٌ : يا رسول الله! إني لأذبح الشاة فأرحمُها، قال: ” والشَّاة إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللهُ” مَرَّتَيْنِ

Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku menyembelih seekor kambing lantas aku merahmatinya”, Rasulullah berkata, “Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya maka Allah akan merahmati engkau”, Rasulullah mengucapkannya dua kali (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dishahihkan oleh Syaikh Albani di as-Shahihah no 26)

Orang yang menyembelih seekor kambing tanpa ada rasa rahmat dengan mengasah parangnya di hadapan kambing tersebut misalnya, atau menyembelihnya dengan parang yang tidak tajam sehingga menyakiti kambing tersebut misalnya… tentu tidak sama dengan seseorang yang menyembelih kambing namun dengan rasa rahmat kepada sang kambing, sehingga ia berusaha menyembelih kambing tersebut dengan sebaik-baiknya. Orang yang merahmati kambing maka Allah akan merahmati orang tersebut, bahkan Rasulullah menegaskan hal ini sebanyak dua kali.

Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةً، رَحِمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dihasankan oleh Syaikh Albani)

Seseorang yang merahamati seekor sembelihan bukan hanya dirahmati oleh Allah di dunia, bahkan dirahmati oleh Allah pada hari kiamat kelak, hari dimana setiap kita membutuhkan kasih sayang Allah.

Bahkan jika seseorang merahmati seekor anjing… renungkanlah hadits ini

بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ

Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)

Jika merahamati seekor hewan maka mendatangkan rahmat Allah dan kasih sayang Allah maka bagaimana lagi jika kita merahmati sesama manusia ???

Merahmati seorang fajir

Perintah Allah untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum bahkan mencakup seorang pelaku kemaksiatan –sebagaimana perkataan Al-Munaawi di atas-. Bukankah kita kasihan tatkala melihat seseroang yang terjerumus dalam kemaksiatan… kasihan kehidupannya yang pernuh dengan kegelapan di dunia, terlebih-lebih lagi jika akhirnya masuk ke dalam neraka jahannam. Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan merahmatinya…??

Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk berdakwah kepadanya…??

Bukankah sebagian kita dahulu juga seperti itu..?? bukankah sering kita menanti-nanti ada yang mendakwahi kita tatkala itu..?? sungguh hati ini sangat bersedih jika ternyata orang-orang sholeh malah menjauhi mereka para pelaku kemaksiatan… hanya bisa mencemooh tanpa berusaha mendakwahi mereka…!!!

Saya jadi teringat dengan tentang pengakuan seorang remaja yang saya dengar di Idzaa’atul Qur’aan Al-Kariim (Radio dakwah Arab Saudi). Remaja tersebut bercerita bahwa ia dahulunya adalah seorang pecandu morfin selama bertahun-tahun, dan ibunya selalu melarangnya untuk mengkonsumsi morfin, akan tetapi teguran sang ibu tidak pernah ia hiraukan. Hingga bertahun-tahun berlalu sang ibu tidak bosan-bosannya menasehati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang adapun ia juga tidak bosan-bosannya tidak menghiraukan teguran sang ibu. Hingga akhirnya pada suatu hari di hari jum’at setelah ashar (yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana pendapat sebagian ulama) maka sang ibu pun berdoa : “Yaa Allah sadarkanlah putraku atau cabutlah nyawanya agar ia berhenti dari kemaksiatannya“. Ternyata Allah mengabulkan doa sang ibu dan menyadarkannya dari kemaksiatan ini, hingga akhirnya iapun meninggalkan heroin. Demikian tutur sang pemuda.

Yang menjadi perhatian saya adalah di akhir tuturannya sang pemuda berkata, “Saya sering lewat di depan mesjid tatkala adzan dikumandangkan… dan saya tidak sholat, akan tetapi tidak seorang pun dari jama’ah masjid yang menegurku…!!!, bertahun-tahun lamanya.. tidak seorang pun dari mereka yang menegurku..!!”

Oleh karenanya para pembaca yang budiman kita juga semestinya berusaha untuk menebarkan rahmat dan kasih sayang meskipun kepada pelaku kemaksiatan dengan mendekatinya dan mendakwahinya semampu kita dengan cara yang selembut-lembutnya.

Merahmati pelaku bid’ah

Para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan adalah pelaku bid’ah. Ketahuilah kebanyakan para pelaku bid’ah di zaman kita –terutama di tanah air kita- adalah orang-orang yang bodoh dan tidak paham dengan sunnah dan al-haq. Bahkan banyak diantara mereka yang sama sekali tidak mengenal dakwah sunnah, mereka mewarisi bid’ah yang mereka lakukan secara turun temurun.

Saya tidak berbicara tentang gembong-gembong bid’ah yang mengikuti hawa nafsu mereka sehingga nekad menolak atau mempelintir dalil-dalil demi melarisakan bid’ah mereka. Akan tetapi saya berbicara tentang mayoritas saudara-saudara kita yang terjerumus ke dalam bid’ah karena kejahilan dan ketidak tahuan mereka. Bukankah banyak diantara kita –bahkan sebagian besar kita- tidak mengenal sunnah sejak kecil?, akan tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bid’ah sebagaimana kebanyakan masyarakat yang terjerumus dalam praktek-praktek bida’h. Bukankah kita mendapatkan hidayah dengan adanya seseorang salafy yang kemudian mendekat kepada kita sehingga kemudian menjelaskan sunnah kepada kita…??.

Oleh karenanya marilah kita merahmati para pelaku bid’ah dengan menyebarkan dakwah sunnah kepada mereka.

Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bid’ah:

وَهؤلاء الْمُخَرِّفُوْنَ مَسَاكِيْنُ، إِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الْقَدْرِ؛ فَنَرَقَّ لَهُمْ، وَنَسْأَلُ اللهَ لَهُمُ السَّلاَمَةَ، وَإِنْ نَظَرْنَا إِلَيْهِمْ بِعَيْنِ الشَّرْعِ؛ فَإِنَّنَا يَجِبُ أَنْ نُنَابِذَهُمْ بِالْحُجَّةِ حَتىَّ يَعُوْدُوا إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ

“Para pelaku khurofat tersebut kasihan mereka, jika kita memandang mereka dengan pandangan taqdir (bahwasanya semua terjadi dengan taqdir Allah-pen) maka kita kasihan mereka, dan kita memohon kepada Allah keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan syari’at mak wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah agara mereka kembali kepada jalan yang lurus” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/65)

Bukankah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِِهِ

“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia menyukai bagi saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya”

Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada Allah…??, maka hendaknya kita juga senang jika saudara kita juga demikian dan meninggalkan kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah seorang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan atau bid’ah juga masih merupakan saudara kita sesama muslim???

Praktek Ibnu Taimiyyah dalam merahmati pelaku bid’ah

Seseorang yang ikhlash adalah seseorang yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah, bukan bergerak dengan kehendak hawa nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana praktek sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga jika mudah marah karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan terkadang menghembuskan kemarahannya tersebut di balik topeng membela agama.. wallahul musta’aan.

Lihatlah bagaimana praktek Ibnu Taimiyyah terhadap musuh-musuhnya para pelaku bid’ah.. sungguh pelajaran yang sangat luar biasa.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad dan membantah berbagai macam model bid’ah. Oleh karenanya kita dapati mayoritas kitab-kitab beliau adalah bantahan terhadap bid’ah-bid’ah terutama bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan aqidah. Sehingga banyak ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mereka berfatwa akan kafirnya Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Bahkan mereka berfatwa kepada Raja untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi… apakah Ibnu Taimiyyah pernah berfikir untuk membalas dendam jika ia mendapatkan kesempatan..??? perhatikanlah tiga kisah berikut ini:

Kisah pertama : Tentang Ibnu Taimiyyah dan sulthon Ibn Qolawuun

Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah bercerita tentang kisah Ibnu Taimiyyah.

Sulthon An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari kalangan para ulama bid’ah yang memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan mereka berfatwa kepada sang Sulthoon agar membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sang sulthoon hanya memenjarakan Ibnu Taimiyyah dan tidak membunuhnya. Maka pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir kemudian menggulingkan dan merebut kekuasaan sang Sulthoon. Akhirnya para petinggi tersebut berkhianat dan membelot meninggalkan sang sulthoon dan membai’at Al-Jaasyinkiir. Tentu hal ini membuat murka sang sulthoon. Maka sang sulthoon akhirnya berusaha merebut kembali kekuasaannya dan akhirnya ia berhasil. Ternyata para petinggi tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang hal ini membuat sang sulthoon marah dan mengetahui bahwasanya mereka adalah para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun mengeluarkan Ibnu Taimiyyah dari penjara dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan para petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas sang sulthoon mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya yang ternyata isi kertas tersebut adalah fatwa para petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu Taimiyyah. Tentunya sang sulthoon sudah menyimpan dendam yang sangat besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh para petinggi tersebut.

Ibnu Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang Sulthoon, dan aku tahu bahwasanya ia menyimpan dendam dan kemarahan yang sangat dalam terhadap para ptinggi tersebut, karena mereka telah membelot darinya dan membai’an Al-Jasyinkir…, maka akupun mulai memuji para ulama, yaitu para petinggi tersebut, dan menyebutkan jasa mereka, dan seandainya mereka pergi maka sang sulthoon tidak akan mendapatkan petinggi-petinggi yang seperti mereka”. Sang sulthoon berkata, “Mereka (para ulama dan petinggi) tersebut telah menyakitimu dan berulang-ulang ingin agar engkau dibunuh”. Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang menyakitiku maka aku telah memafkannya, dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan RasulNya maka Allah akan membalasnya, aku tidak akan membela diriku sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang sulthoon. (Lihat kisah ini Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga Al-’Uquud Ad-Durriyyah hal 221)

Kisah kedua : Tatkala musuh beliau meninggal dunia

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih mengumpulkan sifat-sifat tersebut dari pada Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu memafkan dan berbuat ihsan kepada orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah berkata,

وَدِدْتُ أَنِّي لأَصْحَابِي مِثْلُهُ لأَعْدِائِهِ وَخُصُوْمِهِ

“Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada musuh-musuh beliau”

Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada seorangpun dari musuh-musuhnya, bahkan beliau mendoakan mereka. Suatu hari aku mendatangi beliau member kabar gembira tentang meninggalnya musuh besarnya dan yang paling keras menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah, maka beliaupun membentak aku dan mengingkari sikapku dan mengucapkan inaa lillahi wa inaa ilaihi rooji’uun. Lalu beliapun segera pergi menuju rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut menyatkan turut berduka cita dan menghibur mereka dan berkata : “Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi kalian. Karenanya jika kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan maka aku akan membantu kalian” atau semisal perkataan ini, maka merekapun gembira dan mendoakan Ibnu Taimiyyah dan mereka menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah” (Lihat perkataan Ibnul Qoyyim ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin 3/139-140)

Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah, musuh besarnya yang sangat menentang dan paling menyakiti beliau tatkala meninggal maka Ibnu Taimiyyah segera menghibur keluarganya yang ditinggalkan. Bahkan Ibnu Taimiyyah membentak Ibnul Qoyyim yang bergembira dengan kematian musuhnya tersebut.

Kisah ketiga : Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri

Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi yang membolehkan beristighotsah kepada Nabi setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pemikirannya telah dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al-Istighootsah fi Ar-Rod ‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiiq bahkan terkadang ia mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Bahkan ia bersama pengikutnya telah mengeroyok untuk memukul Ibnu Taimiyyah. Tatkala orang-orang semakin banyak berkumpul melihat pengkeroyokan tersebut maka Al-Bakry pun kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang dan juga tentara kepada Ibnu Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi Al-Bakri akibat perbuatannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak mau membela diriku”. Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukumi perbuatan Al-Bakri. Akhirnya Ibnu Taimiyyah berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya merupakan hak saya, atau merupakan hak kalian atau merupakan hak Allah. Jika hak tersebut adalah hak saya maka Al-Bakriy telah saya maafkan, dan jika hak menghukum adalah hak kalian maka jika kalian tidak mendengar nsehatku maka jangan meminta fatwa kepadaku, dan silahkan kalian melakukan apa yang kalian kehendaki. Dan jika hak adalah milik Allah maka Allah akan mengambil hakNya sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia kehendaki”.

Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum maka Al-Bakriy pun lari dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah –tatkala beliau bermukim di Mesir- hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah member syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy, dan akhirnya iapun dimaafkan” (Silahkan lihat kisah ini di Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits Al-Qoohiroh) dan Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400)

Para pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat mulia dari Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan baginya untuk membalas dendam justru ia malah memaafkan musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bid’ah. Hal ini bahkan telah dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya. Diantaranya ada yang berkata,

مَا رَأَيْنَا مِثْلَ ابْنِ تَيْمِيَّةَ، حرَّضنَا عَلَيْهِ فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهِ، وقَدِرَ عَلَينَا فَصَفَحَ عَنَّا، وَحَاجَجَ عَنَّا

“Kami tidak pernah melihat seorangpun seperti Ibnu Taimiyyah, kami berusaha untuk mengganggunya namun kami tidak mampu untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu untuk menjatuhkan kami maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini merupakan perkataan Ibnu Makhluuf, silahkan lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/95 tahqiq At-Turki)

Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil tindakan bukan dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan janji Allah dan kesabaran. Karena dengan dua sikap inilah (yakin dan sabar) maka seseorang akan meraih kepemimpinan dalam agama, sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu berkata dalam kalimat emasnya;

بِالصَّبْرِ وَالْيَقِيْنِ تُنَالُ الإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ

“Dengan kesabaran dan keyakinan maka akan diraih kepimimpinan dalam agama” (Al-Mustadrok ‘alaa Majmuu’ Al-Fataawaa 1/145)

Allah telah berfirman

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami (As-Sajdah ayat 24)

Para pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala kita melihat diri kita atau sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang kita kagumi ini yaitu Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh hidupnya ia korbankan demi menegakkan aqidah dan manhaj salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita mencela dan menghabisi sebagian yang lain diantara ahlus sunnah… lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mengkafirkan beliau… bahkan mengroyok beliau…, ini sikap beliau terhadap Ahlul Bid’ah, bagaimana lagi sikap terhadap sesame ahlus sunnah. Ya Allah Engkau Maha Tahu bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlaq tersebut, maka ampunilah kami Yaa Gofuur Yaa Rohiim.

Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari praktek hajr terhadap pelaku maksiat ataupun kepada ahlul bid’ah… semuanya tetap berlaku dengan menimbang antara maslahat dan mudhorot sebagaimana telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya yang lalu. Allahul Musta’aan (Silahkan lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/97-salah-kaprah-tentang-hajr-boikot-terhadap-ahlul-bidah-seri-2-hajr-bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-wasilah)

Penulis: Ustadz Firanda Andirja, MA

Artikel www. muslim.or.id